Selasa, 10 September 2013

Epistemologi Islam dalam Ilmu Ekonomi

Baru-baru ini telah terbit buku yang berjudul “Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam” yang disusun oleh DR.Adian Husaini dkk, buku ini sekiranya hadir pada momentum yang tepat mengingat situasi keilmuan saat ini sudah sangat mencemaskan dengan gempuran epistemologi barat (sekuler) diberbagai bidang-bidang keilmuan yang pada akhirnya banyak menimbulkan kekacauan berpikir umat manusia. Buku ini memberikan penyegaran tentang sebuah konsep epistemologi yang menghargai ilmu dengan sebagaimana mestinya.
Ilmu atau ‘ilm memiliki tempat yang sangat istimewa dalam khazanah dan peradaban Islam. Allah sangat mengistimewakan orang-orang yang memiliki ilmu, Dia membedakan orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui (QS.Az-Zumar:9) juga meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS.Al-Mujadilah:11).
Rasulullah pun menegaskan bagaimana ilmu mempunyai peran yang sentral sebagaimana Beliau bersabda “Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR Muslim), “Termasuk mengagungkan Allah ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, orang tua yang muslim dan para pengemban Al-Qur’an dan ahlinya, serta penguasa yang adil.” (HR Abu Dawud).
Dengan begitu pentingnya ilmu bagi umat manusia timbullah sebuah pertanyaan bagaimana cara mendapatkan ilmu tersebut dan disinilah letak fungsi epistemologi berlaku. Epistemologi dikenal sebagai sebuah cabang ilmu filsafat yang berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya, Syamsuddin arif menjelaskan ada tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
Lebih lanjut Arif menjelaskan,
Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi kalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat Ilahi, menerima Ilham, fath, kasyf, dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman. (Dr.Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam,[Jakarta: Gema Insani,2013], hal.115)
Dari penjelasan tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa segala sesuatu yang dapat ditangkap dari ketiga sumber tersebut merupakan sebuah ilmu.

Klasifikasi ilmu

Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘ulum al-din telah mengkalsifikasikan ilmu menjadi dua yaitu ilmu keagamaan (‘ilm muamalah) dan ilmu ruhiyah (‘ilm mukashafah), beliau menjelaskan ilmu keagamaan ini merupakan sebuah prasyarat untuk mendapatkan ilmu yang kedua (‘ilm mukhasafah) yang menjelaskan tentang kegiatan ritual ibadah dan kegiatan ruhiyah hati mencakup dunia gaib diluar persepsi indrawi.
Berdasarkan tujuannya Al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi fard ‘ayn dan fard kifayah, ilmu yang bersifat fard ‘ayn ini merupakan ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang terkait dengan akidah, setiap orang wajib mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan larangan dari agama, kedua fard kifayah yang tidak diwajibkan untuk setiap manusia mengetahuinya, hal ini bergantung kepada kebutuhan dari setiap daerah, Al-Ghazali membagi kembali fard kifayah ini menjadi dua kelompok yaitu ilmu agama (syar’iyyah) yang berasal dari wahyu Allah (Al-Quran) dan sunnah Nabi (Al-Hadist), lalu ilmu non agama (ghayr syar’iyyah) yang berasal dari proses pemikiran, penelitian dan pengalaman.
Al-Attas mengatakan saat ini khazanah keilmuan telah mencapai pada titik kebingungan intelektual (confusion of knowledge), menjadi sangat problematis karena ilmu telah kehilangan maksud dan tujuannya dan problem tersebut sudah merasuki pada seluruh cabang-cabang keilmuan termasuk salah satunya ilmu ekonomi, problem ini terjadi diseluruh sektor mulai dari hulu (pendidikan) sampai ke hilir (praktik).

Problem epistemologi

Ilmu ekonomi yang dimulai dari jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi para siswa/mahasiswa dicekoki dengan sejarah ilmu ekonomi barat sebagaimana buku-buku ekonomi yang disuguhkan telah memperkenalkan Adam Smith, Paul Samuealson, Karl Max sebagai tokoh-tokoh ekonomi, lebih jauh Adam Smith seorang sarjana ekonomi dari Skotlandia yang dengan bukunya yang sangat terkenal dalam dunia ekonomi “The Wealth of Nation” ini dinobatkan sebagai “Bapak Ekonomi”, padahal jika ingin jujur bahwa buku tersebut bukanlah hasil dari pemikiran Adam Smith sendiri melainkan pembajakan habis-habisan terhadap bukunya Abu Ubaid yang berjudul Al Amwal. (Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, [Bandung: Pustaka Setia, 2010] hal.18)
Sehingga tidak heran memang pendefinisian terhadap ilmu ekonomi disekolah maupun perguruan tinggi sangat terpengaruh pada pemikiran-pemikiran ekonom barat sebagai contoh Prof Robbinson mendefinisikan ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif (Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (terj), [Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993] hal. 19). Pendefinisan seperti ini memberikan makna yang absurd, tidak ada tolok ukur yang jelas mengenai perilaku manusia seperti apa yang seharusnya dijalankan dan memang dalam ekonomi konvensional sistem yang dibangun adalah pasar bebas, segalanya dilepaskan atas mekanisme pasar seutuhnya, manusia dalam menjalankan ekonominya diberikan hak yang sebebas-bebasnya untuk memenuhi kebutuhan, manusia berperan sebagai individunya masing-masing bukan sebagai manusia yang bermasyarakat dan pada akhirnya memunculkan budaya materialis dan hedonis.
Dilihat dari pendidikan ekonomi yang diajarkan dengan sistem yang dibangun tersebut kerusakannya semakin meluas kepada hilirnya (praktik), dapat dilihat dari permasalahan-permasalahan bangsa yang timbul saat ini dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan pangan, kemudian  melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, ini dikarenakan praktik kartel yang merajalela dan alat tukar yang digunakan merupakan alat tukar yang tidak mampu menopang nilainya sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah telah mengajukan beberapa solusi diantaranya adalah membuka pintu impor yang selebar-lebarnya seperti beberapa bulan lalu pemerintah mengimpor tiga ribu ton daging sapi, enam belas ribu ton bawang merah dan empat ribu ton cabe rawit kemudian bulan lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonominya dalam merespon ketidak stabilan kondisi perekonomian dikarenakan berhembusnya wacana penghentian Quantitative Easing (QE) oleh Amerika dan berimbas kepada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, setidaknya ada empat yang menjadi kebijakan pemerintah yaitu memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga rupiah, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi, mempercepat investasi. Demikian solusi yang diambil oleh pemerintah dalam mengatasi gejolak perekonomian.
Segala permasalahan ini merupakan hasil dari penggunaan epistemologi ilmu yang salah dalam memahami ilmu, pendidikan yang diajarkan mulai dari sekolah-sekolah sampai ke perguruan tinggi telah mengajarkan suatu konsep ilmu yang dikotomi yang membedakan ilmu-ilmu agama dengan non agama, ketika mempelajari ilmu non agama seorang siswa/mahasiswa harus melepaskan nilai-nilai keagamaannya karena dalam ilmu tersebut tidak ada kaitannya dengan agama. Ini terlihat pula dari solusi permasalahan yang ditawarkan oleh pemerintah, tidak ada poin-poin yang menitiberatkan kepada nilai-nilai ruhiyahnya.
Padahal ini merupakan poin penting dari permasalahan yang terjadi, boleh jadi karena konsep materialistis dan hedonis yang telah membudaya menciptakan manusia sebagai individu-individu yang serakah sehingga tujuan ekonomi untuk mencapai kemakmuran menjadikan seperti api jauh dari panggangnya “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR.Bukhari No. 6438)

Islamisasi ilmu

Demikianlah bahaya kerusakan yang ditimbulkan oleh epistemologi sekuler yang dianut selama ini dalam dunia pendidikan Indonesia oleh karenanya urgensi perombakan epistemologi ilmu yang digunakan menjadi sangat mendesak sebab dengan menerapkan epistemologi yang keliru akan menciptakan pendidikan yang keliru, pendidikan yang keliru akan menciptakan ilmu yang keliru, ilmu yang keliru akan menciptakan pemikiran yang keliru, pemikiran yang keliru akan menciptakan perilaku yang keliru pula dan akhirnya perilaku yang keliru akan menciptakan manusia yang zhalim.
Untuk mengatasi kerancuan ilmu yang disebabkan oleh epistemologi barat sekiranya pemerintah berani untuk melakukan gebrakan Islamisasi ilmu, konsep ini telah disampaikan oleh Prof Naquib Al-Attas beliau menguraikan konsep-konsep pokok dalam epistemologi dan metafisika Islam, seperti konsep “religion” dalam Islam (ad-Din), yang sumber tertingginya diambil dari Al-Qur’an. Ia juga menguraikan tentang konsep “the truth” yang tidak mengenal dikotomi “subjektif” dan “objektif”, sebagaimana dalam tradisi Filsafat Yunani. Ia mengkritik konsep desakralisasi alam ilmuwan sekuler, yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala unsur Ketuhanan. (Dr.Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, [Jakarta: Gema Insani, 2013], hal. 39)
Dengan melakukan Islamisasi ilmu ini, hakikat tujuan mencari ilmu pengetahuan dalam Islam yakni menjadikan manusia sebagai orang baik dan beradab serta tujuan pendidikan yang ada pada ketentuan umum UU SISDIKNAS untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dapat terwujud. Insya Allah

Rifki Akbar Tanjung
Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta