Baru-baru ini telah terbit
buku yang berjudul “Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam” yang disusun oleh
DR.Adian Husaini dkk, buku ini sekiranya hadir pada momentum yang tepat
mengingat situasi keilmuan saat ini sudah sangat mencemaskan dengan gempuran
epistemologi barat (sekuler) diberbagai bidang-bidang keilmuan yang pada
akhirnya banyak menimbulkan kekacauan berpikir umat manusia. Buku ini memberikan
penyegaran tentang sebuah konsep epistemologi yang menghargai ilmu dengan
sebagaimana mestinya.
Ilmu atau ‘ilm memiliki
tempat yang sangat istimewa dalam khazanah dan peradaban Islam. Allah sangat
mengistimewakan orang-orang yang memiliki ilmu, Dia membedakan orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui (QS.Az-Zumar:9) juga
meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat (QS.Al-Mujadilah:11).
Rasulullah pun
menegaskan bagaimana ilmu mempunyai peran yang sentral sebagaimana Beliau
bersabda “Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah
telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR Muslim), “Termasuk mengagungkan Allah
ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, orang tua yang muslim dan para
pengemban Al-Qur’an dan ahlinya, serta penguasa yang adil.” (HR Abu Dawud).
Dengan begitu
pentingnya ilmu bagi umat manusia timbullah sebuah pertanyaan bagaimana cara
mendapatkan ilmu tersebut dan disinilah letak fungsi epistemologi berlaku.
Epistemologi dikenal sebagai sebuah cabang ilmu filsafat yang berbicara tentang
sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya, Syamsuddin arif menjelaskan ada
tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul)
serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
Lebih lanjut Arif
menjelaskan,
Persepsi indrawi
meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra
keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan
daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi
dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr)
dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi,
menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan
menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi kalbu seseorang dapat menangkap
pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat Ilahi, menerima Ilham, fath, kasyf, dan
sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal
dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan
agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan
diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir
zaman. (Dr.Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan
Islam,[Jakarta: Gema Insani,2013], hal.115)
Dari penjelasan
tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa segala sesuatu yang dapat
ditangkap dari ketiga sumber tersebut merupakan sebuah ilmu.
Klasifikasi
ilmu
Imam Al-Ghazali dalam
karya monumentalnya Ihya’ ‘ulum al-din telah mengkalsifikasikan ilmu menjadi
dua yaitu ilmu keagamaan (‘ilm muamalah) dan ilmu ruhiyah (‘ilm mukashafah),
beliau menjelaskan ilmu keagamaan ini merupakan sebuah prasyarat untuk
mendapatkan ilmu yang kedua (‘ilm mukhasafah) yang menjelaskan tentang kegiatan
ritual ibadah dan kegiatan ruhiyah hati mencakup dunia gaib diluar persepsi
indrawi.
Berdasarkan tujuannya
Al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi fard ‘ayn dan fard kifayah, ilmu yang
bersifat fard ‘ayn ini merupakan ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap orang
yang terkait dengan akidah, setiap orang wajib mengetahui apa yang menjadi
kewajiban dan larangan dari agama, kedua fard kifayah yang tidak diwajibkan
untuk setiap manusia mengetahuinya, hal ini bergantung kepada kebutuhan dari setiap
daerah, Al-Ghazali membagi kembali fard kifayah ini menjadi dua kelompok yaitu
ilmu agama (syar’iyyah) yang berasal dari wahyu Allah (Al-Quran) dan sunnah
Nabi (Al-Hadist), lalu ilmu non agama (ghayr syar’iyyah) yang berasal dari proses
pemikiran, penelitian dan pengalaman.
Al-Attas mengatakan
saat ini khazanah keilmuan telah mencapai pada titik kebingungan intelektual
(confusion of knowledge), menjadi sangat problematis karena ilmu telah
kehilangan maksud dan tujuannya dan problem tersebut sudah merasuki pada
seluruh cabang-cabang keilmuan termasuk salah satunya ilmu ekonomi, problem ini
terjadi diseluruh sektor mulai dari hulu (pendidikan) sampai ke hilir
(praktik).
Problem
epistemologi
Ilmu ekonomi yang dimulai
dari jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi para siswa/mahasiswa dicekoki
dengan sejarah ilmu ekonomi barat sebagaimana buku-buku ekonomi yang disuguhkan
telah memperkenalkan Adam Smith, Paul Samuealson, Karl Max sebagai tokoh-tokoh
ekonomi, lebih jauh Adam Smith seorang sarjana ekonomi dari Skotlandia yang dengan
bukunya yang sangat terkenal dalam dunia ekonomi “The Wealth of Nation” ini
dinobatkan sebagai “Bapak Ekonomi”, padahal jika ingin jujur bahwa buku
tersebut bukanlah hasil dari pemikiran Adam Smith sendiri melainkan pembajakan
habis-habisan terhadap bukunya Abu Ubaid yang berjudul Al Amwal.
(Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, [Bandung: Pustaka
Setia, 2010] hal.18)
Sehingga tidak heran
memang pendefinisian terhadap ilmu ekonomi disekolah maupun perguruan tinggi
sangat terpengaruh pada pemikiran-pemikiran ekonom barat sebagai contoh Prof
Robbinson mendefinisikan ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki
kegunaan-kegunaan alternatif (Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam (terj), [Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993] hal. 19). Pendefinisan
seperti ini memberikan makna yang absurd, tidak ada tolok ukur yang jelas
mengenai perilaku manusia seperti apa yang seharusnya dijalankan dan memang
dalam ekonomi konvensional sistem yang dibangun adalah pasar bebas, segalanya
dilepaskan atas mekanisme pasar seutuhnya, manusia dalam menjalankan ekonominya
diberikan hak yang sebebas-bebasnya untuk memenuhi kebutuhan, manusia berperan
sebagai individunya masing-masing bukan sebagai manusia yang bermasyarakat dan
pada akhirnya memunculkan budaya materialis dan hedonis.
Dilihat dari pendidikan
ekonomi yang diajarkan dengan sistem yang dibangun tersebut kerusakannya
semakin meluas kepada hilirnya (praktik), dapat dilihat dari
permasalahan-permasalahan bangsa yang timbul saat ini dengan melonjaknya
harga-harga kebutuhan pangan, kemudian
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, ini dikarenakan praktik
kartel yang merajalela dan alat tukar yang digunakan merupakan alat tukar yang
tidak mampu menopang nilainya sendiri.
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut pemerintah telah mengajukan beberapa solusi diantaranya
adalah membuka pintu impor yang selebar-lebarnya seperti beberapa bulan lalu
pemerintah mengimpor tiga ribu ton daging sapi, enam belas ribu ton bawang
merah dan empat ribu ton cabe rawit kemudian bulan lalu pemerintah mengeluarkan
kebijakan ekonominya dalam merespon ketidak stabilan kondisi perekonomian
dikarenakan berhembusnya wacana penghentian Quantitative Easing (QE) oleh
Amerika dan berimbas kepada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar,
setidaknya ada empat yang menjadi kebijakan pemerintah yaitu memperbaiki neraca
transaksi berjalan dan menjaga rupiah, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga
daya beli masyarakat dan tingkat inflasi, mempercepat investasi. Demikian
solusi yang diambil oleh pemerintah dalam mengatasi gejolak perekonomian.
Segala permasalahan ini
merupakan hasil dari penggunaan epistemologi ilmu yang salah dalam memahami
ilmu, pendidikan yang diajarkan mulai dari sekolah-sekolah sampai ke perguruan
tinggi telah mengajarkan suatu konsep ilmu yang dikotomi yang membedakan
ilmu-ilmu agama dengan non agama, ketika mempelajari ilmu non agama seorang
siswa/mahasiswa harus melepaskan nilai-nilai keagamaannya karena dalam ilmu
tersebut tidak ada kaitannya dengan agama. Ini terlihat pula dari solusi
permasalahan yang ditawarkan oleh pemerintah, tidak ada poin-poin yang
menitiberatkan kepada nilai-nilai ruhiyahnya.
Padahal ini merupakan
poin penting dari permasalahan yang terjadi, boleh jadi karena konsep
materialistis dan hedonis yang telah membudaya menciptakan manusia sebagai individu-individu
yang serakah sehingga tujuan ekonomi untuk mencapai kemakmuran menjadikan
seperti api jauh dari panggangnya “Seandainya manusia diberi lembah penuh
dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika
diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia
tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi
siapa saja yang bertaubat.” (HR.Bukhari No. 6438)
Islamisasi
ilmu
Demikianlah bahaya
kerusakan yang ditimbulkan oleh epistemologi sekuler yang dianut selama ini
dalam dunia pendidikan Indonesia oleh karenanya urgensi perombakan epistemologi
ilmu yang digunakan menjadi sangat mendesak sebab dengan menerapkan
epistemologi yang keliru akan menciptakan pendidikan yang keliru, pendidikan
yang keliru akan menciptakan ilmu yang keliru, ilmu yang keliru akan
menciptakan pemikiran yang keliru, pemikiran yang keliru akan menciptakan
perilaku yang keliru pula dan akhirnya perilaku yang keliru akan menciptakan
manusia yang zhalim.
Untuk mengatasi
kerancuan ilmu yang disebabkan oleh epistemologi barat sekiranya pemerintah
berani untuk melakukan gebrakan Islamisasi ilmu, konsep ini telah disampaikan
oleh Prof Naquib Al-Attas beliau menguraikan konsep-konsep pokok dalam
epistemologi dan metafisika Islam, seperti konsep “religion” dalam Islam
(ad-Din), yang sumber tertingginya diambil dari Al-Qur’an. Ia juga menguraikan
tentang konsep “the truth” yang tidak mengenal dikotomi “subjektif” dan
“objektif”, sebagaimana dalam tradisi Filsafat Yunani. Ia mengkritik konsep
desakralisasi alam ilmuwan sekuler, yang melepaskan keterkaitan alam dengan
segala unsur Ketuhanan. (Dr.Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Perspektif
Barat dan Islam, [Jakarta: Gema Insani, 2013], hal. 39)
Dengan melakukan
Islamisasi ilmu ini, hakikat tujuan mencari ilmu pengetahuan dalam Islam yakni
menjadikan manusia sebagai orang baik dan beradab serta tujuan pendidikan yang
ada pada ketentuan umum UU SISDIKNAS untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dapat
terwujud. Insya Allah
Rifki Akbar Tanjung
Mahasiswa Magister
Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta